InBewara, Bandung – Masih hangat di telinga kita tentang peristiwa kurang menyenangkan yang dialami judoka Indonesia di Asian Para Games 2018. Miftahul Jannah, batal bertanding dalam event ini lantaran menolak untuk melepas hijab saat hendak masuk ke area pertandingan.
Judoka asal Aceh ini, dijadwalkan bertanding di JIEXPO Kemayoran, pukul 10.18 WIB di nomor -52 kg kategori low vision. Miftahul harus menghadapi judoka Mongolia, Oyun Gantulga.
Sebelum memasuki gelanggang berupa matras, Miftahul diminta untuk melepas hijab, namun dia menolak dan didisfikualifikasi.
Saat dikonfirmasi detikSport, penanggung jawab pertandingan, Ahmad Bahar mengatakan, permasalahan itu karena aturan. Aturan di judo atlet tidak diperkenankan memakai hijab saat bertanding.
Adanya aturan tersebut saat technical meeting yang berlangsung Minggu, (7/10/2018) sore, dan langsung disebarkan secara berantai kepada seluruh atlet.
Menurut peraturan wasit Federasi Judo Internasional (IJF) dituliskan bahwa rambut panjang harus diikat agar tidak mengganggu saat pertandingan. Kepala tidak boleh ditutupi kecuali untuk pembalutan yang bersifat medis. Aturan itu diperkuat lagi oleh International Blind Sport Federation (IBSA) yang menyatakan bahwa tidak boleh menggunakan hijab saat pertandingan.
Dalam Judo terdapat dua jenis teknik (waza), yaitu bantingan (nage-waza) atau kuncian (katame-waza). Didalam buku Kudokan Joda yang terbit pada 1994, nage-waza bisa dikembangkan menjadi tachi-waza dan sutemi-waza. Sedangkan katame-waza bisa dikembangkan menjadi osaekomi-waza, shime-waza, dan kansetsu-waza. Diantara teknik – teknik tersebut shime-waza adalah yang paling berbahaya untuk pengguna hijab. Shime-waza adalah teknik cekikan yang cukup berbahaya karena berhubungan langsung dengan leher dan tenggorokan. Penggunaan hijab akan mempermudah lawan untuk melakukan teknik ini kepada Miftahul. Terlebih apabila ada kesalahan yang terjadi pada saat shime-waza maka tidak akan menutup kemungkinan juara Peparnas 2016 ini akan mengalami cidera.
Terbentur adanya aturan tersebut, gadis berusia 21 tahun ini terpaksa didisfikualifikasi. Namun, tidak ada salahnya jika seorang atlet dipersilahkan bertandingn dengan menjunjung tinggi sportifitas tanpa merebut prinsip dan keyakinannya. Seharusnya official Tim Judo Indonesia menyiapkan langkah alternatif untuk mengatasi masalah ini. Viralnya kasus yang menimpa Miftahul ini menimbulkan banyak spekulasi, seperti isu diskriminasi terhadap satu agama. **(Dwi Aprianti)